Rabu, 23 Juni 2010

Awalnya istilah Kamera Lubang Jarum atau KLJ diadopsi dari istilah Pinhole Camera. Sebuah istilah yang cukup melegenda dalam sejarah peradaban dunia fotografi. Pinhole Camera merupakan teknologi tertua dalam prinsip kerja teknologi fotografi sebelum Camera Obscura.. Walaupun pinhole camera merupakan teknologi tertua dalam dunia fotografi, namun di negara-negara maju, pinhole camera dengan segala keterbatasannya masih digunakan sebagai dasar pendidikan fotografi, bahkan menjadi art photography yang memukau.
Kamera Lubang Jarum (KLJ) ini dapat dibuat dari berbagai macam perabot, misalnya paralon, kaleng maupun kotak lainnya, asalkan kedap dari cahaya. Paralon, kaleng maupun kotak tersebbut dibuatkan lensa dengan bahan aluminium foil yang memiliki lubang kecil berukuran sebesar ujung jarum. Prinsip kerja dari kamera ini yaitu menangkap “obyek” gambar yang di tembak dari satu arah yang menghadap sumber cahaya dalam satuan jarak dan satuan waktu untuk dapat menghasilkan gambar permanen. Mungkin terdengar aneh bagi seorang awam, namun Leonardo Da Vinci pernah menyatakan bahwa “siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil kita dapat melihat alam semesta”. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimanakah sebuah lubang dalam sebuah kaleng yang dijadikan kamera dapat merekam sebuah objek gambar?
Kamera Lubang Jarum bukanlah kamera obyektif layaknya kamera-kamera konvensional maupun digital SLR lainnya yang terumuskan secara paten. Justru KLJ merupakan kamera subyektif dengan resep imajinatif khas anak bangsa. Menurut penggagas Kamera Lubang Jarum, Ray Bachtiar Dradjat, “Penggunaan KLJ mampu mengembalikan kita kepada fitrah sebagai manusia sehat dan kreatif, kenapa demikian, karena keterbatasan alat ini mendorong kita untuk lebih mampu melewati kekurangan dengan sebuah eksplorasi pikiran yang kreatif dan imajinatif”.
Kamera Lubang Jarum bekerja dari masuknya cahaya ke lubang lensa seukuran jarum pada kaleng yang ditangkap dan direkam terbalik oleh media yang ada di dalam kaleng, baik kertas foto maupun roll film. Ekspresikan apa yang ada di dalam pikiran serta fokus dan arahkan pada obyek yang akan kita foto, pertimbangkan ukuran kapasitas cahaya (kuat atau lemah), serta ketepatan jarak antara kamera dengan obyek atau benda yang akan kita foto. Dan setelah melalui proses cuci cetak maka akan dihasilkan foto sesuai pada saat kita memotret sebuah objek. Proses dan hasilnya sangat natural, namun terkadang terdapat efek-efek tertentu dari hasil yang didapatkan oleh Kamera Lubang Jarum. Oleh karenanya, kerja dari kamera ini sangat bergantung terhadap kekuatan cahaya, semakin besar kekuatan cahaya akan semakin cepat proses pemotretannya dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, bergantung pula kepada keuletan, kecerdasan dan kreatifitas sang fotografer menggunakan kamera lubang jarum dengan segala keterbatasannya.
Proses KLJ tak hanya berhenti pada pemotretan saja. Hasil yang telah kita foto dapat kita lihat dengan cara di cuci cetak secara langsung, tentu saja hal ini di lakukan pada tempat yang kedap cahaya (dark room). Di tempat inilah kita akan “bermain” dengan cairan-cairan kimia layaknya cuci cetak pada studio foto konvensional. Proses memotret dengan media KLJ memang cukup melelahkan. Tetapi di balik proses yang melelahkan tersebut justru terdapat rangsangan kepekaan, ketekunan dan keingintahuan dalam mengeksplorasi ide, imaji dan kreatifitas penggunanya.

Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI)
Keberadaan Kamera Lubang Jarum di Indonesia memang masih menjadi barang antik bagi masyarakat umum, namun perkembangan KLJ mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) di Jakarta pada tahun 2002. Kemudian di susul dengan serangkaian workshop-workshop di sekolah dan kampus, baik dalam lingkup akademis maupun non akademis. Selain itu, pameran foto dalam konteks Kamera Lubang Jarum sudah banyak digelar, baik ditingkat daerah maupun nasional.
Bahkan di Kota-kota besar dan beberapa daerah di Indonesia, virus Kamera Lubang Jarum ini sudah lama mewabah. Diantaranya menjadi mata pelajaran dasar wajib dalam ekstra kulikuler fotografi, baik di tingkat Sekolah Menengah Atas maupun di bangku perkuliahan. Menurut Seno Gumira, KLJ merupakan antitesis dunia fotografi digital dan perkembangannya sudah menjadi semacam “gerakan”. Banyak kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat Anak yang menggunakan KLJ sebagai media dokumentasi.
Tak hanya sebatas itu, dalam menyambut Hari Kamera Lubang Jarum se-dunia atau disebut juga dengan Pinhole Day tanggal 25 April 2010 lalu, beberapa Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) ikut serta dalam perayaan tersebut sebagai komitmen dan konsistensi KLJI dalam penyebarluasan Kamera Lubang Jarum yang telah meng-Indonesia. Kenapa demikian, karena sejarah penyebaran KLJ di Indonesia berbeda dengan negara lain. Di Indonesia, Kamera Lubang Jarum tidak berasal dari “sekolahan”, tapi dimulai dari gerakan “indie” yang pada akhirnya berhasil dijadikan mata pelajaran formal di lembaga-lembaga pendidikan fotografi, klub-klub fotografi, mata pelajaran ekstra kulikuler di sekolah menengah pertama dan atas, hingga mampu melahirkan sarjana-sarjana Kamera Lubang Jarum. Kamera Lubang Jarum pun menjadi semacam gerakan sosial. Gerakan “melek ilmu” yang ditujukan bagi anak-anak, termasuk anak jalanan dan yatim piatu.
Semua ini bisa terjadi hanya karena kerja keras dan semangat gerilya yang tak kunjung padam dari pecinta Kamera Lubang Jarum di seluruh Indonesia. Maka, mungkin kini saatnya Komunitas Lubang Jarum Indonesia bisa unjuk diri, bahwa dalam hal kualitas bahkan kuantitas, kreativitas anak Indonesia patut diacungi jempol. Maju Terus Fotografi Indonesia!!!

0 Comments:

Post a Comment